Bincang Bareng Penulis Yang Menguar dari Gang Mawar, Asri Wulandari

Halo, Ulan. Sebelumnya, aku mau mengucapkan selamat, karena karyamu Yang Menguar di Gang Mawar kemarin terpilih menjadi finalis hadiah sastra Ayu Utami untuk pemula “rasa” 2023. Bagaimana rasanya mendapatkan rekognisi di debutmu?

Terima kasih. Saya tentu senang mendapatkannya meskipun hanya sampai tahap finalis. Harapan saya adalah, jadi ada lebih banyak orang yang baca Gang Mawar. Soalnya selama ini saya suka lihat ulasan-ulasan pembaca yang ditag ke saya.

 

Kami lebih dulu mengenal kamu sebagai penerjemah novel berbahasa Jepang. Lewat Yang Menguar di Gang Mawar kamu menunjukkan kemampuan menulis cerpenmu juga sama baiknya, ya. Pada prosesnya, mana yang lebih dulu kamu tekuni? Menulis atau menerjemahkan.

Secara profesional, yang saya lakukan duluan memang menerjemahkan. Kalau secara personal, sepertinya lebih dulu menulis. Sebelum bekerja sebagai penerjemah, saya biasanya menulis racauan yang kadang bentuknya mirip puisi atau lirik lagu. Setelah beberapa kali menerjemahkan novel, tiba-tiba saya jadi bisa menyelesaikan kisah tokoh-tokoh yang selama ini hidup di kepala saya. Sepertinya ketika menerjemahkan saya tidak sengaja belajar cara menulis cerita.

 

Secara ngga langsung, proses menuliskan ulang karya orang lain lewat terjemahan juga memantikmu untuk menuliskan ceritamu, ya. Tapi bagaimana dengan gaya menulismu? Apa juga banyak terpengaruh dari penulis yang karyanya kamu terjemahkan?

Saya pribadi tidak melihat kesamaan gaya tulisan dengan penulis yang saya terjemahkan. Akiyoshi Rikako misteri, Kawakami Mieko novelnya realis, Dazai Osamu…? Entahlah. Apalagi ketika menulis Gang Mawar saya belum pernah menerjemahkan kumpulan cerpen. Tapi, menariknya beberapa pembaca bilang tulisan saya seperti sastra Jepang. Saya sendiri tidak paham apa atau bagian apa yang dimaksud. Mungkin ada hal yang pembaca sadari tapi saya sendiri tidak.

Terkait karyamu, aku melihat latar belakang dari para tokoh yang kamu angkat, baik dari segi ras, usia, identitas gender maupun seksualitas cukup beragam. Begitupula pada cerpenmu Darah Muda Darahnya Para… dalam antologi cerpen Parade yang Tak Pernah Usai. Menurutmu, seberapa pentingnya sih representasi keberagaman dalam sebuah karya?

Representasi sangat penting, tentu saja. Tapi lebih penting lagi bagaimana representasi itu dilakukan. Dan oleh siapa representasi itu dilakukan. Saya pernah mengobrol dengan teman soal representasi yang cuma dijadikan plot twist, misalnya queerness/mental illness as a plot twist. Menurut saya itu bukan representasi yang baik. Saya sendiri masih butuh belajar banyak soal representasi, tapi sejauh ini saya hanya berusaha menghadirkan identitas-identitas yang saya sendiri peluk, atau yang orang terdekat saya peluk.

Lalu untuk sudut pandang, banyak dari cerpenmu menggunakan sudut pandang perempuan. Apakah ada alasan tertentu?

Mungkin karena dari kecil saya mendengar banyak cerita perempuan di sekitar saya, terutama kegetiran yang mereka alami cuma gara-gara mereka perempuan. Salah satu energi yang sangat terasa saya pakai untuk menulis Gang Mawar adalah kemarahan, dan banyak dari kemarahan itu muncul ketika saya mendengar cerita dari perempuan-perempuan yang ada di dekat saya. Also, i am a woman and i love women. Beberapa hari lalu saya pertama kali bertemu Kak Anggun Pradesha and dia really reminded me again of how amazing women are.

 

Wah, akhirnya dapat kesempatan bertemu juga ya setelah menulis untuk buku yang sama (Parade yang Tak Pernah Usai). 😀

 

Dalam Yang Menguar Gang Mawar , kamu menghadirkan kompleksitas dari sebuah gang mulai dari ketimpangan kelas, rasisme, kekerasan, hingga identitas gender. Berarti kamu mendapatkan referensi dr cerita di sekitarmu juga? Seberapa dekat kehidupanmu dg kehidupan dalam gang? Dan mengapa memilih gang sebagai benang merah/tema utama?

Iya, kami bertemu di Malam Puisi yang diadakan Atelir Ceremai waktu Hari Perempuan Internasional lalu. Kak Anggun baca puisi dan saya terkesima sekali sampai napas saya rasanya diambil.

Ya, ada hal-hal yang memang saya ambil dari dunia nyata, meskipun saya tidak akan bilang “terinspirasi dari kisah nyata”. Yang saya sadari, saya banyak menyomot tempat yang benar-benar ada di tempat saya tinggal dulu, tapi kemudian saya acak-acak. Misalnya, saya dulu pernah tinggal di tempat bernama Gang Mawar, tapi bentuk fisiknya tidak sama dengan yang di kumcer. Warung mie ayam, salon, toko buku loak, dan sebagainya juga diambil dari tempat-tempat dari memori masa kecil saya. Soal isu, jadi kompleks mungkin karena seperti itulah gang-gang Tanjung Priok. Saya banyak mengalami macam-macam, di sekitar saya banyak terjadi macam-macam.  Lalu, waktu kecil banyak orang menganggap saya pendengar yang baik (mungkin karena saya cenderung pendiam dan tidak judgmental bagi mereka), jadi saya sering dengar cerita-cerita yang sangat personal dan mendalam.

Alasan memilih gang sebagai unsur penting cerita, karena saya tumbuh besar di gang. Bukan cuma gang rumah saya berada, tapi juga gang teman-teman saya. Saya suka gapura gang, warung gang, jajanan sore gang. Dulu kalau main sepeda ya keliling gang ini, gang itu. Meskipun ada dukanya juga (rasisme, catcalling, banjir, got jorok, kecoak), gang tetap menjadi ruang hidup yang paling familier buat saya.

 

Pada dasarnya sudah sangat dekat dengan kompleksitas kehidupan di gang ya. Narasi -narasi yang kamu gambarkan dalam cerita pun terasa hidup.

Untuk pertanyaan penutup, boleh dong rekomendasikan bacaan. Manga juga boleh. Hehe

Saya lagi tidak banyak waktu baca sebagai hiburan, termasuk manga (sedih banget hiks) tapi beberapa yg belum pernah saya rekomendasikan mungkin:

– Dwilogi Earthseed karya Octavia E. Butler

– Sipit karya Yosephine Salim

– The Whale that Fell in Love with a Submarine karya Akiyuki Nosaka

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *