Halo, Fadiya. Selamat atas terbitnya buku terbarumu, Memori Tubuh Kami. Jika biasanya tulisanmu hadir lewat medium media online, kali ini terkurasi dalam bentuk buku. Bagaimana perasaanmu?
Halo Kak Romlah, makasih banyak! Rasanya senang banget sih karena tulisan-tulisan ini akhirnya bisa dikompilasi dalam bentuk buku sehingga jadi lebih mudah bagi orang-orang yang tertarik membaca tulisan-tulisan dalam tema yang serupa, tapi selama ini dipublikasikan di medium yang berbeda-beda dan di waktu yang tidak sama pula.
Ada perbedaan ngga sih ketika isu yang kamu tulis naik sebagai artikel, dibandingkan dengan buku?
Ada, karena mediumnya beda, aku ngerasa impactnya juga lebih berbeda. Sekali pun selama ini aku menulis liputan panjang, tapi informasi yang disampaikan dalam artikel yang tayang secara daring lebih terbatas ketimbang di buku. Soalnya, kalau di buku, ruangnya lebih panjang, sehingga informasi yang dipublikasikan bisa memberikan ruang dari perspektif yang lebih berbeda-beda.
Contohnya, sewaktu aku menulis tentang masalah edukasi seksual untuk artikel, aku merasa pusing dan kekurangan ruang untuk membedah permasalahan-permasalahan yang ada karena sangat kompleks. Akhirnya, tulisan itu pun diterbitkan dalam bentuk serial panjang selama enam bulan. Itu pun, pembaca belum tentu membaca seluruh rangkaiannya. Sementara, saat dipublikasikan dalam buku, aku melihat munculnya ruang-ruang diskusi yang lebih luas karena pembacanya benar-benar membaca naskahku secara lebih mendalam dan utuh.
Saat membaca Memori Tubuh Kami, aku merasa itu tema yang berat dan menguras emosi. Tapi di satu sisi aku meyakini bahwa reportase itu penting untuk dibukukan, sebagai pengingat sekaligus pil pahit bahwa persoalan kekerasan seksual, KDRT, hingga pernikahan anak masih begitu kusut. Kamu bisa ceritakan, bagaimana proses kamu menuliskannya? Perasaan dan hambatanmu untuk menuliskan reportase yang begitu menyeluruh.
Prosesnya lumayan panjang sih. Aku sendiri pun banyak belajar ulang dalam prosesnya, karena rangkaian liputan itu dibuat sejak akhir 2019 hingga tahun 2022. Satu hal yang paling aku sadari selama melakukan liputan ini adalah bagaimana selama ini aku tumbuh di lingkungan media (maupun institusi pendidikan) yang masih melihat proses liputan trauma dengan perspektif yang sangat maskulin. Dampaknya, liputan-liputan yang muncul pun menjadi sangat tidak empatik.
Secara pribadi, saya merasa cukup privilege karena bisa bertemu dengan orang-orang dan mendapatkan akses untuk belajar lebih (dan masih belajar) terkait dengan proses liputan-liputan isu yang sensitif, mulai dari trauma, anak, hingga kekerasan. Lewat itu, saya baru menyadari bahwa sebetulnya melakukan liputan hingga menuliskan isu semacam ini juga berdampak kepada saya sebagai jurnalis.
Di awal-awal menulis isu kekerasan, saya sering tiba-tiba menangis atau menahan rasa nangis dalam proses wawancara dan penulisannya. Namun, dengan kultur media yang sangat maskulin, proses regulasi emosi, termasuk menangis karena liputan, menjadi sesuatu yang tabu. Saya merasa aneh karena dalam banyak liputan ini, saya merasa sedih, sakit, mual, capek, marah, dan sebagainya. Dalam tahun-tahun pertama tersebut, saya sama sekali tak menceritakan proses maupun emosi yang saya rasakan saat liputan–lagi-lagi, karena kultur yang masih menabukan jurnalis/penulis juga manusia yang punya emosi dan wajar apabila mengalami emosi tertentu saat liputan.
Namun, di awal pandemi, saya mencoba untuk menceritakan ini dengan teman sesama jurnalis yang fokus pada isu gender/kekerasan, serta ke psikolog. Kemudian saya menyadari bahwa respon emosi-emosi ini, perasaan ikut marah, sedih, sakit, merupakan hal wajar. Terlebih, saat beberapa isu yang dituliskan juga dekat dengan pengalaman pribadi.
Menyadari adanya masalah ini, pun mengetahui bahwa orang-orang sekitar saya ternyata juga mengalami kendala yang serupa, membuat saya jadi sadar bahwa hambatan berupa munculnya emosi-emosi intens tersebut sesuatu yang normal. Akhirnya, salah satu cara yang bisa dilakukan adalah mengambil jeda atau istirahat antar-tulisan. Jadi, jika memang peduli terhadap suatu isu, maka penting juga untuk peduli terhadap waktu istirahat agar bisa mengisi energi untuk melakukan langkah/liputan lainnya.
O ya, terkait liputanmu yang banyak merangkum pengalaman traumatis, seperti menjadi korban kekerasan seksual, dsb, bagaimana sih cara kamu membangun komunikasi dengan narasumber, hingga mereka berani membuka diri dan mempercayakan ceritanya untuk dituliskan olehmu?
Kalau dari pengalamanku sih, kunci utamanya membangun hubungan yang transparan dengan narasumber dan membangun ruang yang juga aman bagi narasumber untuk membagikan ceritanya.
Nah, kalau secara lebih teknisnya, hubungan yang transparan itu meliputi, tapi tak terbatas pada: adanya consent dari narasumber terkait dengan proses wawancara tersebut; saat berbicara tentang consent, tidak sebatas ia bersedia atau tidak, tapi juga narasumber mengetahui dan memahami konsekuensi yang mungkin hadir pasca liputan; menerangkan ke narasumber soal hak-haknya sebagai narasumber (hak untuk menolak menjawab pertanyaan; hak untuk off the record; dsb); menjelaskan kepada narasumber soal keterbatasan kemampuan saya sebagai jurnalis (contoh: saya hanya punya kemampuan untuk meliput dan menulis–mungkin juga memberikan akses, seperti kontak, dsb–tapi saya tidak memiliki kapasitas untuk menjadi pendamping/menyelesaikan kasus/dsb. Penekanan ini menjadi satu hal yang juga penting untuk memastikan ekspektasi dari kedua pihak).
Sementara, untuk membangun ruang yang aman, bentuk teknisnya biasanya: memastikan dia diwawancara di tempat yang dia bisa merasa aman; memberikan opsi untuk ditemani pendamping/orang yang dia percaya.
Kemudian, untuk langkah awal mengkontaknya sendiri, ada beberapa narasumber yang memang sudah saya kenal dan saya kontak secara langsung. Namun, sebagain besar narasumber justru saya dapatkan lewat pihak ketiga, seperti lewat lembaga atau para pendamping. Apabila jalur yang saya dapatkan seperti itu, maka proses untuk membangun perasaan aman biasanya juga dibantu oleh pihak ketiga tersebut.
Setelah menuliskan banyak reportase, berjumpa dengan banyak narasumber dan juga ahli, adakah yang cukup berpengaruh hingga mengubah pandanganmu?
Sebenarnya, kalau bicara soal pandangan atau cara melihat suatu masalah atau fenomena, justru saya banyak mendapatkannya dari para narasumber. Soalnya, biar gimana, dengan profesi saya ini, banyak sekali keterbatasan informasi dan pandangan yang saya miliki. Jadi, biasanya, saya akan memelajari suatu masalah atau isu beriringan dengan proses riset, liputan (termasuk wawancara-wawancara), hingga menuliskannya itu sendiri. Dalam prosesnya pun, seringkali bisa berubah-ubah, atau tiba-tiba menemukan fakta yang kontradiktif dengan apa yang sebelumnya saya bayangkan atau temukan dalam tahapan riset awal.
Contohnya, dalam proses liputan naskah-naskah ini, saya menyadari bahwa cara meliput yang masih sering digunakan saat bicara soal kasus kekerasan (saya sendiri dulu juga sering menggunakannya) adalah dengan perspektif yang menempatkan subjek sebagai korban yang tidak berdaya. Naskah seringkali berpusat pada masalah struktural dan menghilangkan posisi penyintas sebagai subjek cerita. Perspektif ini dianggap lebih baik dibandingkan dengan perspektif dominan lainnya di mana justru naskah sama sekali tidak berpihak pada korban/penyintas kekerasan, tetapi akhirnya menghilangkan posisi korban/penyintas sebagai subjek dari suatu cerita.
Kemudian, sepanjang menulis naskah ini, saya belajar untuk menempatkan ruang yang lebih banyak kepada subjek yang mengalami kekerasan tersebut, serta tidak menghentikan cerita selepas kekerasan terjadi. Namun, memotret lebih jauh apa yang terjadi pasca itu, bagaimana reaksi mereka, bagaimana cara mereka untuk kemudian survive (atau bahkan beberapa dari mereka, berlanjut untuk memperjuangkan masalah ini di ruang yang lebih besar).
Jadi, tentunya pandangan dan cara saya melihat sesuatu akan terus berubah seiring dengan proses liputan-liputan yang saya lalui atau pelajari.
Setelah menerbitkan Memori Tubuh Kami, buku seperti apakah yang kamu bayangkan menjadi buku keduamu?
Sebenarnya, untuk saat ini, saya belum punya rencana atau bayangan soal apa yang akan saya lakukan ke depannya, termasuk rencana untuk menulis buku kedua. Jadi lihat ke depannya aja nanti gimana hehe
Pertanyaan terakhir: boleh dong rekomendasikan buku yang kamu ingin banyak orang tahu.
Ini beberapa rekomendasi buku dariku:
Cala Ibi-Nukila Amal, Sihir Perempuan-Intan Paramadhita, Si Kecil yang Terluka dalam Tubuh Orang Dewasa-Patresia Kirnandita, dan Cerita-Cerita Bahagia-Norman Pasaribu