Oleh: Divani Majidullah Syarief
Anarkisme adalah kata yang selalu muncul setelah suatu kerusuhan pecah. Kata ini selalu dikonotasikan negatif. Pemikir kontemporer, Noam Chomsky, menyebut bahwa anarkisme adalah korban dari penguasa yang mencoba mempertahankan kekuasaan despotiknya. Menurutnya, misinterpretasi anarkisme digunakan oleh penguasa untuk melindungi status quo-nya (Chomsky, 1996). Padahal, anarkisme itu sendiri adalah sebuah filsafat politik yang meyakini bahwa masyarakat akan hidup sejahtera dengan mengatur dirinya sendiri, menjalin konsensus antarindividu maupun kelompok tanpa campur tangan pemerintah (Mangunhardjana, 1997).
Misinterpretasi ini perlu diluruskan agar tidak semakin menyesatkan. Salah satunya bisa dilakukan melalui jalur literasi. Meskipun, secara umum literatur filsafat politik kiri di Indonesia sudah banyak. Tetapi, kebanyakan masih berkutat pada Marxisme, alih-alih membahas anarkisme secara tersendiri. Oleh karena itu, review buku kali ini akan mengupas buku karya Ferdhi F. Putra berjudul Blok Pembangkang (2022) terbitan EA Books—yang mana masih satu keluarga dengan Buku Mojok.
Seperti yang tertulis sebagai subjudulnya: Gerakan Anarkis di Indonesia 1999-2011, buku ini secara spesifik membahas gerakan anarkisme di Indonesia setelah tumbangnya Orde Baru yang telah berkuasa lebih dari tiga dasawarsa. Menariknya, naskah asli buku ini adalah skripsi sang penulis. Skripsi tersebut awalnya beredar begitu saja di internet. Hasil kurasi dari pihak penerbitan terhadap naskah awal Blok Pembangkang (2022) menyatakan bahwa naskah ini layak untuk diterbitkan. Namun, sebelum diterbitkan menjadi sebuah buku, naskah awal tersebut harus dibangun ulang. “Yang saya tulis dalam buku ini, boleh dibilang, 80 persen berbeda dari naskah awal,” tulis penulis di bagian pengantar.
Dilihat dari segi fisik, buku Blok Pembangkang (2022) ini cukup menarik perhatian. Sampul buku ini dominan berwarna hitam dengan berisi gambar segerombolan orang berpakaian hitam membawa sebuah bendera circel-A. Judulnya dicetak timbul sehingga menciptakan suatu tekstur. Selain itu, buku ini juga tidak tergolong tebal, yaitu berisi 221 halaman dengan 7 halaman tambahan.
Dari segi isinya, Blok Pembangkang (2022) memiliki lima bab utama di luar bagian pengantar, daftar pustaka, dan indeks. Tiap babnya, rata-rata ditulis dalam 30-40an halaman. Tiap babnya juga terdiri dari subbab-subbab yang membangun narasi yang sedang diangkat di dalamnya. Terdapat juga tabel dan beberapa gambar dokumentasi yang bisa membantu pembaca untuk memahami narasi teks.
Bagian awal Blok Pembangkang (2022) membahas mengenai pertemuan sang penulis dengan anarkisme yang kemudian dilanjutkan dengan sejarah gerakan anarkisme. Di bagian ini, penulis cukup apik membahas sub-sub gerakan dari anarkisme itu sendiri. Anarkisme dikatakan sebagai sebuah gerakan yang tidak tunggal dan dogmatis. Anarkisme dapat melebur dengan berbagai pemikiran lain misalnya feminisme yang melahirkan anarko-feminis, environmental melahirkan green-anarchism dan anarko-primitif, hingga dua pemikiran yang saling kontradiktif antara anarko-individualis dengan anarko-komunis dan anarko-platformis dengan anarko-insureksioner.
Kemudian dilanjutkan dengan pembahasan lanjutan mengenai pemikiran anarkisme yang menolak kapitalisme dan negara. “Dalam sejarahnya, negara, dan kapitalisme berkembang berdampingan saling memberikan dukungan satu sama lain, dan saling menguatkan… Menghancurkan kapitalisme tanpa menghancurkan negara, menurut kami, tidak masuk akal!” begitulah kutipan dari buku ini yang merupakan kritik dari Peter Kropotkin (1912). Di bagian ini, penulis menjelaskan hubungan kapitalisme dan negara dan alasan mengapa pemikiran anarkisme menolak keduanya.
Setelah pembahasan mengenai anarkisme, barulah penulis menceritakan kronologi berkembangnya anarkisme di Indonesia. Anarkisme berkembang pesat sejalan dengan layunya Orde Baru. Partai Rakyat Demokratik (PRD) sempat menjadi wadah bagi para anarkis di Indonesia, sebelum akhirnya mereka kecewa dengan para petinggi PRD yang memilih ikut pemilu. Para anarkis menganggap PRD sebagai Leninis. Dikatakan pula bahwa gerakan anarkisme di Indonesia ini juga banyak dipengaruhi oleh gerakan musik punk yang pada saat itu mulai masuk ke Indonesia.
Kemudian, setelah masa PRD, gerakan anarkis berkembang secara sporadis di berbagai daerah seperti Yogyakarta, Bandung, Jakarta, dan daerah-daerah lainnya. Mereka membangun kelompok-kelompok kecil dan dikatakan sering melakukan eksperimen swakelola seperti membangun rumah kolektif. Terakhir, buku ini ditutup dengan usaha penulis untuk merangkai serpihan-serpihan peristiwa anarkisme pasca-2011 yang terjadi di Indonesia.
Secara umum, Blok Pembangkang (2022) cukup komprehensif mengulas fajar anarkisme di Indonesia. Penulis pun tak luput menjelaskan apa itu anarkisme dan apa latar belakang serta tujuan dari gerakan tersebut dalam dua bab awal sehingga pembaca yang awam dapat mengikuti buku ini dengan baik. Selain itu, karena buku ini berawal dari skripsi, data yang dipakai bisa dipastikan valid. Yang mungkin jadi kekurangan dari buku ini adalah batas waktu dalam pembahasan yang hanya sampai pada tahun 2011 saja. Meskipun, di bagian akhir penulis mencoba melengkapinya, tetapi rasanya kurang cukup apabila hanya ditulis dalam 14 halaman terakhir saja.